Ada desa penghasil tusuk sate standar internasional di blitar

 BLITAR JATIM- Sate merupakan makanan tradisional yang digemari masyarakat. Bayangkan, berapa juta tusuk sate yang dibutuhkan setiap harinya?

Desa di lereng Gunung Kawi ini merupakan salah satu sentra pembuatan tusuk sate. Namanya Desa Bumirejo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.



Desa di lereng sisi barat daya Gunung Kawi ini melimpah potensi alamnya. Satu di antaranya yakni pohon bambu. Seorang pemuda kelahiran desa ini, melihat peluang bisnis itu bisa dikembangkan dari tanah kelahirannya.


Yonas Andri, pengusaha muda ini menerapkan sistem fifty-fifty untuk memulai debutnya memproduksi tusuk sate. Sebesar 50 persen produksi, menggalang kemitraan dengan sekitar 300 kepala keluarga. Dengan sistem bayar tunai, mitra bisnis menyetorkan tusuk sate mentahan yang kemudian dipoles di workshop-nya berlabel Bambu Jaya. Dan 50 persennya dikerjakan mulai dari nol di produksi induk


Awalnya di Bumirejo itu ada satu produksi induk dan dua produksi cabang. Kalau produksi induk itu memproses dari awal sampai finishing. Kalau cabang itu, produksi mitra kami finishing touch di sini," tutur pria berusia 29 tahun ini kepada wartawan Sabtu (2/1/2021).


Karena ceruk pasar masih sangat luas, Yonaspun menambah produksi cabang di Desa Kemirigede yang masih di Kecamatan Kesamben. Di Desa Ampelgading Kecamatan Selorejo, supplier bahan tidak hanya dari warga di tiga kecamatan itu, namun meluas sampai Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar, Magetan, Ponorogo, Situbondo dan Probolinggo.


Saat ini, kapasitas produksi tusuk sate yang dihasilkan Yonas sekitar 15 ton per bulan. Padahal, itu tidak sampai 1,5 persen kebutuhan tusuk sate di Indonesia. Lalu dari mana asal tusuk sate yang berada di pasaran Indonesia?


Dari China. Bayangkan, Indonesia impor tusuk sate dari sana itu 1.000 ton per bulan. Dengan estimasi harga Rp 17 ribu per kilogram, ditambah pajak dan lain-lain. Negara kita belanja tusuk sate saja sekitar Rp 17 miliar per bulan," ucap Yonas dengan nada tinggi.

Yonas mengaku banyak kendala yang dihadapinya untuk mengembangkan bisnis ini. Di antaranya kepercayaan konsumen akan produksinya. Konsumen banyak yang belum mengenal produknya. Sementara, produksi China telah terlebih dahulu membanjiri pasar di seluruh Indonesia.


"China itu nomor satu di dunia untuk manufacture bambu. Tapi dua agensi importir besar di Indonesia, sudah pernah melihat produksi saya. Dan mereka mengakui, kalau di sini satu-satunya produsen tusuk sate di Indonesia dengan standar internasional," tambahnya.


Dengan tujuh mesin dari China, sebenarnya kapasitas margin produksi Yonas bisa mencapai 25 ton per bulan. Namun kurangnya modal dan tidak adanya kebijakan pemda setempat akan potensi daerah ini, menjadi faktor belum ditambahnya kuantitas produksinya.


"Saya hanya membalikkan treatment para senior yang tumbang di bisnis awal. Kalau mereka dulu memaksakan mesin China dengan bahan di sini. Sekarang saya balik, saya harus menyesuaikan bahan di sini dengan mesin China. Karena mesin sini tidak memadai untuk produksi dengan standar internasional," ungkapnya.


Saat ini, pemasaran Bambu Jaya sudah menguasai delapan provinsi di Indonesia. Yakni Bali, NTB, Jatim, Jateng, Yogya, Jabar, Kalsel dan Kalteng. Pesanan impor juga datang dari Belanda dan Jerman, masing-masing 2 ton per bulan. Namun terhenti sejak pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia.


"Blitar punya peluang besar. Sumber daya melimpah. Seandainya ada good will dari pemerintah untuk suport usaha ini, saya yakin kita bisa mencukupi kebutuhan tusuk sate di negeri sendiri," pungkas Yonas.


Sumber: detik.com

Belum ada Komentar untuk "Ada desa penghasil tusuk sate standar internasional di blitar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel