Sejarah Awal Mula Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

Kabupaten Serdang Bedagai yang beribukota Sei Rampah adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

ASAL USUL KABUPATEN SERDANG BEDAGAI


Nama Serdang Bedagai diambil dari dua kesultanan yang pernah memerintah di wilayah tersebut yakni Kesultanan Serdang dan Padang Bedagai. Kesultanan Serdang dimulai ketika terjadi perebutan tahta kesultanan Deli setelah Tuanku Panglima Paderap (pendiri kesultanan Deli) mangkat pada tahun 1723.

Tuanku Gandar Wahid, anak kedua Tuanku Panglima Paderap mengambil alih tahta dengan tidak memperdulikan abangnya Tuanku Jalaludin dan adiknya Tuanku Umar. Tuanku Jalaludin tidak bisa berbuat banyak karena cacat fisik, sementara Tuanku Umar terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang.

Melihat hal ini beberapa petinggi wilayah yakni Datuk Sunggal Serbanyaman, Raja Urung Sinembah, Raja Ulung Tanjong Morawa dan Kejuruan Lumu sebagai wakil Aceh menabalkan Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah Kejuruan Junjungan sebagai Sultan Serdang pertama pada tahun 1728. wilayah kesultanan ini berpusat di Kampung Besar tempat dimana ibunya, Tuanku Ampunan Sampali tinggal.

Tuanku Umar atau Raja Osman akhirnya tewas saat pasukan kerajaan Siak ingin menaklukan kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir Sumatera Timur di tahun 1782. makam Tuanku Umar sampai kini masih ada di tengah-tengah perkebunan Sampali. Kesultanan Serdang kemudian dilanjutkan oleh putranya Tuanku Ainan Johan Alam Shah. Sedangkan adiknya Tuanku Sabjana ditempatkan sebagai Raja Muda di kampung Kelambir pinggir Sungai Tuan.

Di bawah kepemimpinan Tuanku Ainan, Kesultanan Serdang mengalami perkembangan dengan melebarkan wilayah kekuasaan hingga ke Percut dan Serdang Hulu. Kesultanan Siak memberi gelar ”Sultan” pada Tuanku Ainan di tahun 1814. istrinya adalah putri dari Raja Perbaungan, yakni Tuanku Sri Alam. Anak-anak Tuanku Ainan membuka dan memimpin perkampungan-perkampungan baru.

Tahun 1817, Tuanku Ainan mangkat dan diganti oleh putra keduanya, Tengku Sinar karena putra pertamanya Tengku Zainal Abidin tewas dalam pertempuran membantu mertuanya di Kampung Punggai. Tengku Sinar di Kampung Punggai. Tengku Sinar kemudian diberi gelar Paduka Sri Sultan Thaf Sinar Bashar Shah. 

Pada zaman inilah Kesultanan Serdang mengalami kejayaan dengan perdegangan dan pemerintahan yang adil. Perjanjian dagang dengan Inggris dibuat tahun 1823. Tercatat ekspor ketika itu berjumlah 8.000 pikul terdiri lada, tembakau, kacang putih, emas dan kapur barus. Sedangkan Inggris memasok kain-kain buatan Eropa. Wilayah kekuasan sudah melebar mulai dari Percut, Padang Bedagai, Sinembah, Batak Timur sampai Negeri Dolok.

Sultan Serdang keempat adalah Tengku Muhammad Basyaruddin yang kemudian bergelar Paduka Sri Sultan M. Basyarauddin Syaiful Alam Shah. Ia ditabalkan di tahun 1850 sesaat setelah ayahandanya mangkat. Basyaruddin merupakan putra keempat Tuanku Ainan. Selama pemerintahannya, Kesultanan Serdang melebarkan wilayah jajahannya hingga ke Batubara (Lima Laras), seluruh Senembah dan menembus kawasan Karo dan Batak Timur.

Ketika pengaruh Belanda semakin kuat, Sultan Basyarudiin dengan tegas memihak pada Kesultanan Aceh dan melakukan perlawanan. Hal ini membuat ia diberi mandat sebagai Wajir (kuasa) Sultan Aceh dengan wilayah kewajirannya meliputi Langkat hingga Asahan. Sebagai wajir, ia menghadapi kedatangan ekspedisi Belanda yang dipimpin Netscher tahun 1862.

Di sisi lain, Sultan Basyaruddin berusaha menjaga perdamaian dengan Kesultanan Deli yang memiliki hubungan akrab dengan Belanda. Namun peperangan dengan Kesultanan Deli sempat pecah ketiak Serdang merebut kembali wilayah Denai. Demikian juga ketika Kesultanan Aceh mengirim 200 kapal perang untuk menyerang Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat, Sultan Basyaruddin turut membantu.

Dalam melawan Belanda, Sultan Basyaruddin didukung oleh para raja dan orang-orang besar jajahannya seperti raja Kampung Kelambir: Raja Muda Pangeran Muda Sri Diraja M Takir, Wajir Bedagai: Datuk Putera Raja Negeri Serdang Ahmad Yudha, Wajir Senembah: Kejuruan Seri Diraja Sutan Saidi.

Melihat perlawanan yang begitu kuat, akhirnya Belanda pada Agustus 1865 menurunkan ribuan pasukannya di Batubara dan Tanjung Balai. Penyerangan ini diberi sandi Ekspedisi Militer melawan Serdang dan Asahan. 30 September, pasukan Belanda sampai di Serdang dan langsung mengejar Sultan Basyaruddin yang bertahan di pedalaman, hingga akhirnya perlawanan tersebut dipatahkan pada 3 Oktober dan Sultan Basyaruddin ditawan Belanda.

Belanda kemudian merampas tanah-tanah jajahan Serdang seperti Padang, Bedagai, Percut dan Denai. 20 Desember 1879, Sultan Basyaruddin mangkat di Istana Bogak, Rantau Panjang dan dimakamkan di dekat Stasiun Araskabu. Kesultanan Serdang diteruskan pada Tengku Sulaiman yang saat itu masih dibawah umur, 13 tahun. Ia ditabalkan menjadi Paduka Sri Sultan Tuanku Sulaiman Syariful Alam Shah.

Untuk menghindari kekosongan kekuasaan pamannya Tengku Mustafa bergelar Raja Muda Sri Maharaja diangkat sebagai Wali Sultan. Penabalan ini dilaksanakan di Istana Tanjung Puteri, Bogak, Rantau Panjang. Pengangkatan ini tidak serta merta diakui oleh Residen Belanda. Mereka memberi 3 syarat jika Sultan Sulaiman ingin diakui yakni: Serdang tidak menuntut  daerah-daerah yang telah dirampas Belanda, penetapan tapal batas antara Deli dan Serdang serta Sultan harus tunduk pada kekuasaan Belanda.

Namun Sultan Sulaiman tidak perduli. Tahun 1882, Belanda memaksa agar sebagian wilayah Senembah diserahkan kepada Deli dengan imbalan Deli akan menyerahkan kembali Negeri Denai. Sultan Sulaiman baru diakui pada tahun 1887 walau ia tetap tidak setuju atas tapal batas dengan Deli yang ditentukan Belanda.

Tahun 1891 Kontrolir Belanda, Douwes Dekker memindahkan ibukota Kesultanan Serdang ke Lubuk Pakam karena Rantau Panjang selalu mengalami banjir. Namun Sultan Sulaiman tidak mau. Ia yang telah membangun istana Kota Galuh dan mesjid Sulaimaniyah di Persimpangan Tiga Perbaungan pada tahun 1886 justru pindah ke istana tersebut. Kota ini menjadi tandingan kota Lubuk Pakam karena sultan kemudian membangun kedai, pasar dan pertokoan sehingga ramai.

Daerah-daerah taklukan Serdang yang dikuasai Belanda dijadikan perkebunan seperti di Denai, Bedagai, Senembah dan Percut. Seluruh perkebunan ini mengikat kontrak dengan Sultan Deli. Walau diakui namun kekuasaan sultan pelan-pelan dibatasi Belanda. Bahkan ketika pulang bertemu dengan Kaisar Jepang Tenno Heika Meiji Mutshuhito, tapal batas dengan Bedagai telah diperkecil Belanda. Belanda juga menghapus jabatan-jabatan penting kesultanan setelah yang menyandangnya meninggal dunia.

Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman, kesultanan Serdang membangun 2.000 bahu lahan persawahan lengkap dengan irigasinya. Kemudian di tahun 1903 didatangkan transmigran masyarakat Banjar untuk mengolahnya. Sultan juga membuka pabrik belacan dan sabun di Pantai Labu serta membuka perkebunan tembakau di Kuala Bali.

Bank Batak dibangun Sultan di Bangun Purba sebagai penunjang roda perekonomian di Serdang. Di bidang pendidikan Sultan mendirikan sekolah Syairussulaiman di Perbaungan. Dalam buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang yang ditulis Tuanku Luckman Sinar Basarsyah, Sultan Sulaiman digambarkan orang yang anti Belanda.

Misalnya Sultan Sulaiman adalah orang yang memperjuangkan agar rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan tembakau konsesi dibenarkan mengerjakan lahan untuk tanaman padi saat areal perkebunan dibelukarkan. Untuk memastikannya ia membuat kodefikasi tentang Hak Adat Rakyat Penunggu di tahun 1922, hak ini membenarkan siapa saja yang memenuhi syarat untuk memperoleh hak jaluran.

Sultan Sulaiman juga dikenal akrab dengan kesenian dan kebudayaan. Ia mendirikan teater ”Indera Ratu” yang membawakan cerita-cerita Melayu, India dan Barat. Sekali setahun teater ini menggelar pertunjukan ke berbagai pelosok Serdang untuk menghibur rakyat secara gratis. Sultan juga menghidupkan teater tradisional ”Makyong” dan wayang kulit jawa yang dihadiahkan oleh Sultan Hamengkubowono VIII. Biasanya kesenian ini digelar pada tiap hari raya di depan Istana Perbaungan.

Saat perang dunia kedua, Jepang yang masuk ke Serdang melalui Pantai Perupuk Tanjung Tiram, Batubara. Namun pasukan ini terkejut ketika masuk ke istana menemukan gambar Tenno Heika Meiji tergantung di dinding istana. Sejak itu hubungan Sultan Sulaiman dengan tentara pendudukan Jepang terjalin baik. Bahkan Sultan diberikan mobil dengan plat no. 1. jepang juga berjanji tidak akan mengambil pekerja paksa dari Serdang dengan syarat Serdang harus menyuplai beras ke markas-markas Jepang.

Sultan Sulaiman juga segera mengibarkan bendera merah putih ketika mendengar proklamasi 17 Agustus 1945 melalui gubernur Sumatera Timur, TM Hassan, Sultan mengirimkan sebuah telegram kepada Presiden Soekarno yang menyatakan kesultanan Serdang serta seluruh daerah taklukannya mengakui kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dan dengan segala kekuatan akan mendukungnya.

Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar Negara Sumatera Timur (NST) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur menentang kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional

 Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan negara Republik Indonesia (NRI), sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur tidak bersedia. Akhirnya pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain UUDS Kesatuan yang berdasar dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan UUD 1945.

Atas dasar itu kesultanan Serdang masuk dalam kabupaten Deli Serdang. Karena Sumatera Timur dibagi atas 5 afdeling, salah satu diantaranya adalah Deli dan Serdang. Afdeling ini dipimpin oleh seorang Asisten Residen serta terbagi atas 4 (empat) onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli beribukota di Pancur Batu, Serdang beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota di Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh seorang kontrolir.

PEMBENTUKAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan Sergai sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang.

Kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Atas Usul Rencana Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten (Kabupaten Deli Serdang (Induk), dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten yang luasnya mencapai 1.900,22 kilometer persegi ini, terdiri atas 243 desa/kelurahan yang berada dalam 17 kecamatan.

Sumber :
Wikipedia.org / 
serdangbedagaiku.blogspot.com

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Awal Mula Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel