Kisah Asal usul Dewi Sekartaji (Galuh Candra Kirana), Putri Kediri


Dewi Sekartaji dilahirkan di Kerajaan Kediri, Jawa Timur.
Beliau ini adalah seorang Putri Raja Kediri (dulu bernama Kerajaan Dhaha) yang bernama Prabu Lembu Amiluhur.
Dewi Sekartaji ini bernama asli Putri Galuh Candra Kirana.

Duh indahnya nama putri yang satu ini. Tapak tilasnya masih ada loh di Kota Kediri, yang terkenal adalah Taman Sekartaji, dimana yang dulunya biasa dibuat taman bermain puteri Kediri.

Dewi Sekartaji ini memiliki wajah yang cantik jelita, tiada tanding di jamannya.
Hanya seorang pria saja yang sangat dicintainya kala itu. Pria kesatria gagah berani itu bukanlah aku loh...b'canda.
Kesatria tampan rupawan tersebut adalah Raden Panji Asmara Bangun atau yang lebih dikenal dengan Andhe-Andhe Lumut.
Beliau adalah putra dari Raja Jenggala.

Walaupun pertempuran dengan Prabu Klanasewandana dengan pasukan Hindu sudah berakhir dan telah dimenangkan oleh Kediri. Namun Sang Prabu masih merasa sedih dan cemas. Beliau berpikir bahwa selama Dewi Sekartaji belum bersuami pertempuran besar pasti akan terulang lagi.

Hal itupun dirasakan oleh Sang Resi Dewi Kilisuci. Maka beliau kemudian menemui Sang Raja Jenggala, menyampaikan permasalahan yang dihadapi adindanya Sang Raja Kediri. Sang Resi menyarankan bahwa untuk menghindari permasalahan timbulnya peperangan lagi, maka Prabu Lembu Hamilihur harus memaksa Raden Panji untuk dinikahkan dengan tunangannya yang lama yaitu Dewi Sekartaji.

Namun Prabu Lembu Hamiluhur tidak sanggup merasa Raden Panji sudah bukan miliknya sebab sudah diambil menantu oleh adindanya Raja Ngurawan. Di samping itu juga takut kalau sampai mengkhianatinya lagi seperti dahulu.

Prabu Lembu Hamiluhur menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Resi dalam hal membicarakannya, baik dengan yang bersangkutan yaitu Raden Panji, maupun dengan mertuanya. Oleh karena itu lalu sang Resi segera pergi ke Ngurawan untuk membicarakan hal tersebut.


Sesampainya di Ngurawan, ditemuinya Raja Ngurawan, sekalian dengan Raden Panji Kudarawisrengga beserta istrinya. Sang Resi segera menyampaikan maksud kedatangannya, seperti yang telah dibicarakannya dengan Raja Jenggala. Sang Raja Ngurawan menyerahkan permasalahan tersebut kepada sang menantu.

Raden Panji pun bersedia asalkan istrinya mengizinkan, serta bersedia dimadu. Ternyata sang istri yaitu Dewi Surengrana mengizinkan. Oleh karena semua sudah bersedia dan sudah tidak ada permasalahan lagi, maka sang Prabu Ngurawan segera membuat surat untuk Raja Kediri yang isinya meminta Dewi Sekartaji untuk diambil menantu, dijodohkan dengan tunangan lamanya yaitu Raden Panji Kudarawisrengga.

Setelah Surat selesai dibuat segera memanggil dua orang menteri yaitu Cungcung dan Calbung untuk menghaturkan surat tersebut kepada kakandanya Sang Raja Kediri. Begitu menerima dan membaca surat lamaran dari Ngurawan, Sang Prabu Kediri lalu minta persetujuan kepada putranya, Raden Gunungsari.

Pada mulanya Raden Gunungsari tidak setuju sebab Raden Panji Kudarawisrengga sudah diambil menantu sendiri oleh sang Paman Raja Ngurawan, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Dewi Surengrana.

Dengan begitu berarti kakandanya, yaitu Dewi Sekartaji akan dimadu dengan saudaranya sendiri. Oleh karena itu Raden Gunungsari merasa berkeberatan, sebab kasihan pada kakaknya. Akan tetapi Sang Prabu mempunyai pandangan lain menurut beliau memang sudah menjadi kehendak Dewa, bahwa Dewi Sekartaji itu memang sudah ditentukan menjadi jodoh bagi Raden Panji Kudarawisrengga.

Oleh karena itu, apapun yang terjadi, walaupun harus dimadu dengan seratus putri, hanya Sekartaji yang akan mampu melahirkan putra mahkota. Dengan alasan tersebut Sang Prabu Kediri akan mengabulkan permintaan adindanya Sang Prabu Ngurawan untuk memberikan Dewi Sekartaji menjadi istri Raden Panji.

Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada putranda Raden Gunungsari untuk membuat surat balasan, serta Raden Gunungsari pula yang diutus menyerahkannya ke Ngurawan.

Raden Gunungsari pun sanggup dengan syarat Dewi Honengan (putri bungsu Jenggala) akan dimintanya menjadi istri. Hal itupun telah disanggupi oleh ayahandanya.
Raden Gunungsari berangkat ke Ngurawan dengan diiringkan oleh lima orang abdinya yang sangat setia, yaitu:
-Ki Tisnapati
-Wiranala
-Singabureng
-Tirtayuda
-Secareka

Sesampainya di Ngurawan, sang paman sangatlah senang menerima balasan surat dari Kediri, terutama atas terkabulnya permintaannya. Oleh karena itu Raden Gunungsari ditahan untuk beberapa hari tinggal di Ngurawan, tidak boleh segera kembali ke Kediri, melainkan nanti bersama-sama dengan pengiringan pengantin laki-laki.

Untuk sementara Raden Gunungsari beserta kelima abdinya diminta beristrirahat di kepatihan. Sedangkan Sang Prabu Ngurawan mengirimkan utusan ke Kediri lagi untuk meminta perintah kapan pengantin laki-laki harus diiringkan ke Kediri.

Selama di Ngurawan, setiap sore Raden Gunungsari diajak berpesta bersama seluruh keluarga Ngurawan sambil menikmati indahnya tari-tarian. Adapun yang menari adalah para putri Ngurawan yang dipimpin oleh Dewi Kumudaningrat. Raden Gunungsari sangat terpesona pada kemolekan Dewi Kumudaningrat, sehingga segala geraknya senantiasa tidak lepas dari perhatiannya.

Namun Dewi Kumudaningrat tampak tidak menaruh perhatian kepada Raden Gunungsari, melainkan perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada Raden Panji Sastramiruda. Maka Raden Gunungsari merasa bertepuk sebelah tangan.

Pada suatu malam hasrat Raden Gunungsari pada Dewi Kumudaningrat sudah tidak dapat dibendung lagi. Sehingga dengan diam-diam dia keluar dari kepatihan ingin menemui Dewi Kumudaningrat di taman Keputrian. Namun malang baginya. Begitu Raden Gunungsari masuk ke kamar tidur Dewi Kumudaningrat, ternyata Raden Panji Sastramiruda sudah berada disana sedang bercumbu dengan sang putri.

Sehingga mereka berdua lalu berkelahi, dan Raden Gunungsari terkena senjata terluka di paha. Raden Gunungsari lalu melarikan diri kembali ke kepatihan. Di sana beliau berjumpa dengan kelima abdinya yang terheran-heran.

Kemudian Raden Gunungsari menceritakan apa telah terjadi. Atas nasehat para abdinya, Raden Gunungsari lalu melarikan diri dari Ngurawan, sebab takut ketahuan oleh pamannya Sang Raja. Setelah tiga hari tiga malam mereka berjalan, sampailah di sebuah hutan belantara.

Di sana mereka sangatlah kelaparan. Tiba-tiba mereka melihat sebuah gubuk yang berada di tepi hutan. Maka singgahlah mereka di gubug tersebut.

Namun oleh karena hari tengah malam, maka yang empunya rumah sudah tidur. Kemudian dibangunkan oleh para abdi, dan diberi tahu bahwa yang datang tersebut adalah Raden Gunungsari, putra raja Kediri. Sang empunya rumah segera bangun dan tergopoh-gopoh menghaturkan sembah. Raden Gunungsari berterus terang bahwa beliau beserta kelima abdinya sangat kelaparan. Maka yang empunya rumah yang bernama Pak Sogol segera menanak nasi untuk menjamu para tamunya. Setelah masak, nasi segera disuguhkan, hanya dengan sebutir telur asin (kamal) serta sambal tanpa terasi.

Mula-mula jamuan disuguhkan kepada Raden Gunungsari. Beliau hanya makan sedikit. Selebihnya diberikan pada kelima abdinya, dan mereka makan dengan lahapnya, sehingga kesemuanya habis seketika. Sesudahnya Raden Gunungsari berniat akan segera melanjutkan perjalanan kembali ke Kediri.

Sebelum berangkat beliau berkata pada Pak Sogol, bahwa tempat tersebut akan dinamakan Desa Kamal, dan Pak Sogol sendiri diganti nama menjadi Ki Sugata. Hal tersebut sebagai tanda peringatan bahwa beliau telah dijamu (disugata= Jawa) dengan lauk telur asin (telur kamal). Beliau berjanji bahwa nanti setelah beliau kembali ke istana, Raden Gunungsari akan membalas kebaikan Pak Sogol tersebut.

Sesudah berkata demikian, Raden Gunungsari lalu mengajak kelima abdinya untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian Singabureng mengingatkan bahwa Raden Gunungsari terluka karena tindakan yang memalukan.

Sehingga kalau ayahandanya mengetahui pasti akan marah, apalagi jika nanti disusul dengan surat dari Ngurawan, yang menyatakan bahwa tuanku di Ngurawan berbuat yang tidak baik. Pasti ayahanda Raja akan menjadi semakin marah, karena merasa dipermalukan. Oleh karena itu maka Raden Gunungsari lalu bertanya kepada Singabureng mengenai bagaimana yang sebaiknya dilakukan.
Singabureng berkata, bahwa daripada kembali ke Kediri, lebih baik bersembunyi dahulu di Gunung Wilis, sekalian mencari obat sambil mencari berita mengenai kepergian tuan, bagaimana sikap ayahanda tuanku Raja Ngurawan maupun Kediri.

Hal itupun disetujui Raden Gunungsari, sehingga mereka lalu meneruskan perjalanan menuju Gunung Wilis.
Sesampainya di Gunung Wilis mereka berjumpa dengan sang pendeta yang bernama Wasi Curiganata.

Raden Gunungsari bercerita dengan terus terang mengenai apa yang telah terjadi, maka kepada sang Resi, disamping mencari obat, juga ingin minta perlindungan.
Begitu mendengar cerita dari Raden Gunungsari sang resi segera memeluknya sambi! berkata: “Aduhai adikku, ketahuilah bahwa saya ini adalah kakakmu sendiri. Saya adalah Raden Nilaprabangsa putra Jenggala yang tertua”. Raden Nilaprabangsa lalu mengisahkan awal mulanya sehingga beliau menyamar sebagai pendeta di Gunung Wilis tersebut, yaitu bahwa mula-mula dipanggil oleh uwanda resi lalu disuruh menyingkirkan istri Raden Panji Kudarawisrengga yang pertama yang bernama Dewi Hangreni.

Setelah berhasil membunuh Dewi Hangreni dia disarankan untuk bersembunyi di Gunung Wilis dengan menyamar sebagai seorang pendeta dengan nama Wasi Curiganata, sehingga dapat berjumpa dengan raden Gunungsari di tempat tersebut.

Raden Nilaprabangsa menyarankan, bahwa untuk sementara waktu Raden Gunungsari tinggal di Gunung Wilis dahulu menunggu sembuhnya luka. Sedangkan kembalinya ke Kediri besok bersama-sama dengan iring-iringan pengantin dari Ngurawan. Raden Gunungsari tidak membantah, sehingga selama beberapa hari tinggal di tempat tersebut bersama dengan kelima orang abdinya.

Hari yang telah ditentukan untuk pengiringan pengantin pun telah tiba. Namun Sang Prabu Jenggala yaitu ayahanda sang pengantin laki-laki tidak berkenan hadir, melainkan hanya memberi doa restu. Oleh beliau, Raden Panji Kudarawisrengga diberi sebutan Raden Panji Klana Jayakusuma, juga disebut Raden Panji Hasmarabangun.

Maksudnya Raden Panji telah dapat mengalahkan Prabu Klana, kemudian membangun parkawinan dengan tunangan lama.

Setelah Raden Panji Kudarawisrengga dipertemukan dengan Dewi Sekartaji, untuk sementara waktu Sang Maharesi Rara Dewi Kilisuci tetap tinggal di Kediri, bertempat tinggal di padepokan Gua Selamangleng, yaitu di Desa Kandairen. Begitu juga Dewi Surengrana dan raden Panji Sastramiruda juga ikut tinggal di Kediri serta Raden Gunungsari jadi memperistri Dewi Honengan.

Raden Gunungsari kemudian memberi hadiah kepada kelima orang abdinya yang telah dengan setia mendampinginya, masing-masing sebuah desa. Yaitu Desa Tisnapaten untuk Ki Tisnapati Desa Wiranalan untuk Ki Wiranala, Desa Burengan untuk Ki Singabureng, Desa Tirtayudan untuk Ki Tirtayuda, serta Desa Secarekan untuk Ki Secareka.


Tidak lama kemudian Raden Panji Kudarawisrengga dipanggil kembali ke Jenggala untuk diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya.

1 Komentar untuk "Kisah Asal usul Dewi Sekartaji (Galuh Candra Kirana), Putri Kediri"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel