Kisah Asal Usul Prabu Linggabuana Dari Kerajaan Sunda

Mungkin banyak yang belum begitu mengenal siapa sebenarnya Maharaja Prabu Lingga Buana tersebut termasuk orang sunda sendiri, padahal kita sering mendengar raja sunda yang gugur di Bubat, waktu perang melawan Patih gajah Mada dari Majapahit. Dengan demikian yang akan dibahas selanjutnya adalah Raja yang gugur di medan Bubat.

Banyak sejarah tentang Prabu Wangi ini yang belum diungkap ke publik, terutama dari sumber kuno yang hingga kinipun tidak pernah dipakai, karena masalah politik dan dominasi di negara kita ini. Tetapi dalam kisah Prabu Lingga Buana disini akan banyak menampilkan sejarah atau kisah yang diungkapkan oleh naskah kuno yang bernama Kidung sunda atau kidung sundayana, yang ditulis oleh sejarawan Bali, yang waktu itu ada di majapahit, ketika sama sama akan menghadiri acara pernikahan Hayam Wuruk, Raja dari majapahit dan Dyah Pitaloka putri dari kerjaan Sunda.

Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut: ” Di medan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya  diperintah dan dijajah  orang lain.” Ia tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (di daerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang. Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin  oleh Patih Gajah Mada  yang jumlahmya tidak terhitung.

Pada tahun 1339 M Sang Raja Sunda sangat bahagia ketika menyaksikan kelahiran sang bayi wanita, cucunya  yang sangat cantik. Sang raja tersebut tersebut kemudian memberi nama bayi tersebut dengan nama  Citraresmi.

Sang Raja yang berbahagia tersebut diatas bernama Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa. Ia merupakan raja Kerajaan Sunda  yang berkuasa  dari tahun 1340 hingga tahun 1350 M. Dan anak wanita tersebut merupakan putri dari putra Mahkota, Pangeran Linggabuana.

Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dalam naskah Carita parahiyangan di sebut Sang Aki Kolot. Ia berkuasa di tanah Sunda dan galuh selama 10 tahun. Ia menggantikan menjadi raja menggantikan ayahnya Prabu Ajiguna Wisesa atau Sang Mokteng Kidding (yang hilang di kidding) yang berkuasa dari tahun 1333-1340 M. Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati.      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman.

RagamulyaLuhur Prabawa atau sang aki kolot mempunyai adik yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi raja Galuh. sang adik raja atau  Prabu Suryadewata inilah di kemudian hari yang menurunkan raja raja kerajaan Talaga.  Dan Prabu Suryadewata ini juga yang merupakan cikal bakal dari kerajaan Sumedang larang. Prabu Suryadewata sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada Prabu Aji Putih untuk membangun kabuyutan di Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal kerajaan Sumedang larang.

Pada tahun 1350 M, Sang raja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa meninggal dunia. Dan ia kemudian digantikan oleh anaknya pangeran Linggabuana. Sang Pangeran dinobatkan menjadi raja  pada  tanggal 14 bagian terang bulan palguna tahun 1272 Saka (22 Februari 1350 M), dengan nama penobatan Prabu Linggabuana Wisesa.

Dalam melaksanakan pemerintahannya sehari hari Sang Raja  baru tersebut di bantu oleh adik iparnya, yang menjadi mangkubumi, yaitu Sang Bunisora yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Dalam naskah carita Parahiyangan Prabu Linggabuana hanya disebut Prabu Maharaja saja.

 Sebagai berikut: “....Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat,

 Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.

 Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.....“

Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.

HAYAM WURUK JATUH HATI PADA PUTRI PRABU LINGGABUANA

Di ibukota majapahit, telah beredar lukisan seorang wanita cantik. Masyarakat ibukota Majapahit merasa kagum terhadap kecantikan wanita dalam lukisan  yang begitu sempurnanya. Seolah di seluruh negeri Majapahit tidak ada yang menandinginya. Lukisan tersebut adalah karya maestro waktu itu yang bernama Sungging Prabangkara, yang secara diam diam ia melukis Sang Putri Sunda ketika berkunjung ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda.

Sungging Prabangkara adalah Seorang seniman dan pelukis profesional, yang senang mengembara ke berbagai negeri untuk melukis berbagai hal yang menarik dari negeri negeri yang dikunjunginya. Ia tidak hanya melukis kecantikan putri sunda saja, tetapi banyak juga koleksinya tentang putri putri raja atau bangsawan di berbagai negeri yang ia kunjungi. Dan yang mendapat respon yang paling besar dari lukisannya adalah lukisan tentang putri sunda tersebut.

Tentang lukisan wanita cantik begitu terkenalnya. Banyak orang yang memperbicangkan bahwa wanita itu cocok untuk Sang Raja yang baru dilantik menjadi raja. Apalagi sang raja belum punya pasangan. Tidak hanya di masyarakat banyak, ternyata lukisan tersebut juga menjadi perbincangan yang hangat di kalangan istana majapahit. Sejumlah pangeran banyak yang begitu mengaguminya, termasuk Sang raja Muda Majapahit, yaitu Hayam Wuruk, yang waktu itu masih bujangan.

 Melihat lukisan tersebut seolah memberikan jawaban tentang angan angan sang raja untuk mempersunting seorang wanita yang cantik, yang ia rasakan belum ada yang cocok di lingkungan kerajaan Majapahit.  Padahal banyak bangsawan dan raja bawahan majapahit yang mengidolakan sang raja untuk menjadi menantu mereka. Dan hal ini juga sangat diharap oleh kaum mudi Majapahit dan putri putri bangsawan serta raja bawahan Majapahit. Tetapi seolah semua putri bangsawan dan raja bawahan tidak membuat Sang raja tertarik. Justru Sang Raja sangat mengidolakan lukisan karya maestro, Sungging Prabangkara tersebut.

Setelah menjadi raja, seolah Hayam Wuruk merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia begitu merindukan sosok pendamping yang ia idolakan. Seolah tidak ada yang menarik hatinya di sekitar istana Majapahit. Dan hal ini seolah mendapat jawaban dari karya sang pelukis tersebut.

Karena itu ia mengutus para mentrinya untuk mendatangkan sang pelukis ke istana. Apakah memang benar benar lukisannya itu nyata, atau hanya khayalan sang pelukis belaka. Sang pelukis meyakinkan bahwa memang benar adanya. Menurutnya, ia telah mengembara ke berbagai negeri, dan ia begitu terpesona tentang kecantikan Diah Pitaloka, putri Sang Raja Sunda yang begitu cantiknya, sehingga ia melukisnya.

Mendengar penjelasan dari sang pelukis, sang raja seolah ingin meyakinkan tentang kebenaran lukisan wanita tersebut. Maka sang raja kemudian mengutus pelukis istana, dan orang orang kepercayaannya sang raja untuk meyakinkannya. Disamping pelukis, orang kepercayaan yang diustus oleh sang raja terdiri dari 5 orang, yaitu:Gajah Enggon yang menjabat sbagai pimpinan utusan, Ma Panji Elam (sang Arya Rajapakrama), Pu Kapasa (stys suradhiraja), Pu Menur (sang Arya Wangsaprana), Pu Kapat (Sng arya Patipati).

Setelah utusan kembali ke Majapahit dan meaporkan tentang kebenaran Sang Putri Sunda yang cantik tiada taranya. Maka dengan persetujuan keluarganya, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada maharaja Linggabuan untuk meminang putri Sunda melalui perantara tuan Anepaken. Dan rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan dimana pesta perkawinan antara raja Hayam Wuruk dan putri akan dilangsungkan.

Setelah pinangan dari Haayam Wuruk diterima, akhirnya disepakati bersama bahwa Raja Linggabuana, permaisuri dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan Putri, sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibukota Majapahit.

Raja Sunda, Prabu Linggabuana adalah seorang ksatria, yang sangat menjunjung tinggi moral. Ia sangat mempercayai maksud dan tujuan Raja Majapahit untuk menjadikan putrinya menjadi istri raja majapahit tersebut. Tidak ada rasa takut, karena kelurusan hatinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa nantinya akan dikhianati justru sudah nyampai tujuan.

Dan Sang Raja juga menerima pinangan karena untuk mempererat tali persaudaraan, karena pendiri Majapahit, atau kakek sang Raja Majapit tersebut adalah merupakan keturunan dari Raja Sunda. Dengan demikian dengan jauh dari rasa prasangka seolah persaudaraan turunan sedarah seolah akan dieratkan lagi dengan acara perkawinan di antara kedua negara.

Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa Raden Wijaya adalah ketrunan dari Raja Sunda. Ayahnya  Pangeran Jayadarma, yang merupakan putra mahkota dari kerajaan Sunda meninggal akibat di racun, ketika Rade Wijaya masih kecil. Karena itu, ibunya yang berasal dari Singasari, meminta kembali pulang ke daerah asalnya, Singasari. pangeran jayadarma merupakan putra dari raja Prabu Darmasiksa.

Tentang rencana keberangkatan Sang raja ke Majapahit, pada awalnya ditentang oleh piak dewan kerajaan Sunda, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Kaarena menurut adat yang berlaku, tidak lazim pihak pengantin wanita datang ke pengantin laki-laki. Menurut mereka kemungkinan hal itu merupakan jebakan dari pihak majapahit yang saat itu ingin menguasai tanah sunda, karena dari beberapa peperangan seblumnya Majapahit pernah dikalahkan.

Tetapi Sang Raja Linggabuana sangatlah berjiwa besar, apalagi bahwa pendiri Majapahit masih merupakan bangsawan Sunda. Dengan alasan silaturahmi untuk mempererat persaudaraan. Sebagai bangsa besar yang tidak pernah dikalahkan, seolah Sang Raja terlalu percaya diri akan kebaikan orang lain. Apalagi masih keturunan yang sama. Dan akhirnya iia memutuskan untuk berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur kedua negara tersebut.

Prabu Lingga Buana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima dan ditempatkan dipasanggrahan Bubat. Rombongan Sang raja disamping diikuti oleh oleh Prameswarinya, juga diikuti oleh pembesar Sunda lainnya.

KESALAHPAHAMAN GAJAH MADA

Mengetahui bahwa Raja sunda beserta rombongan tidak membawa senjata lengkap, karena bertujuan untuk mengantar sang penganten. Timbullah niatnya untuk untuk memamfaatkan kesempatan. Karena waktu itu kerajaan Sunda adalah salah satu negara terkuat di Jawa, untuk menyerang ke negaranya kemungkinan akan kalah seperti yang dialami sebelumnya (Kisah peperangan antara majapahit dengan Sunda, pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh salah seorang patih Sunda yang memaki Gajahmada (lihat Naskah Kidung Sundayana yang ditulis oleh orang Bali)).

Karena itu seolah kesempatan yang ditunggu tunggu justru datang sendiri. Karena itu seolah sudah disetting sbelumnya, bahwa kerajaan Sunda ditempatkan di pasanggarahan Bubat, karena jika terjadi peperangan akan mudah diserang di berbagai penjuru.

Gajah Mada juga memamfaatkan keberadaan raja sunda yang ada dekat pusat kerajaan Majapahit. Dengan demikian, jika terjadi pertempuranpun akan mudah mendatangkan seluruh pasukan Majapahit ke medan perang.

Etika dalam perang bukanlah budaya yang dikembangkan oleh Gajah Mada, menjunjung sikap ksatria juga bukanlah jiwa dari sang patih ini. Justru mengembangkan sikap Ajimumpung. Sikap mumpung Sang raja Sunda tidak bersenjata untuk perang. Karena itu ia dengan gagah beraninya membuat suatu kepustusan bahwa kedatangan sang Raja sunda ke tanah majapahit sebagai suatu tanda takluk kepada Majapahit.

Tentu sikap Patih Gajah mada ini membuat Sang Raja Marah, dan karen itu ia mengutus sang Patih untuk menemui Patih Gajah Mada. Patih Sunda dengan gagah berani tanpa sedikitpun takut meski di negeri orang memaki maki Gajah Mada yang tidak mengembangkan sikap seorang ksatria, seperti yang diungkapkan dalam Naskah Kidung Sundayana.

Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.

Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.

Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.

Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara. Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.

Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.

Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.

Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Dari perkataan sang Patih Sunda ini,  (yang terdapat dalam Kidung Sundayana ini) kita jadi mengetahui, bahwa telah terjadi peperangan antara Majapahit dan kerajaan Sunda sebelumnya. Dimana pasukan Majapahit dikejar kejar dan diburu orang Jipang. Dan kemudian pasukan sunda kembali dan balatentara Majapahit Mundur. Kedua mentriMajapahit yang bernama Les dan Beleteng diparang dan mati. Pasukan Majapahit bubar dan melarikan diri, ada yang masuk ke jurang dan kena duri. Dimana mana pasukan majapahit merengek rengek minta dkasihani untuk hidup.

Sang Patih Sunda seolah tidak takut terhadap Gajah Mada meskipun mereka di daerah Majapahit. Cuma Dia menyayangkan  sikap Gajah Mada yang hianat, tidak sopan. Sehingga sang Patih mempertanyakan tentang ajaran yang dianut oleh sang patih, seolah tidak beragama dan tidak punya etika sebagai ksatria, yang senang menipu orang yang berbudi sahdu.

TERJADINYA PERANG BUBAT

Sumber yang paling banyak menceritakan tentang perang Bubat adalah naskah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab pararthon dikisahkan peristiwa Bubat terjadi padaa tahun saka 1257 atau 1357 M.

Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit  pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.

Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.

 Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan:

Pertama Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.

Kedua: Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang  mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan).

Ketiga. Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.

Keempat: Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk  balas dendam.

PENGARUH DARI PERANG BUBAT

Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan  karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.

Dan perang Bubat ini membuat pamor dari Majapahit menurun drastis, dan dalam perkembangannya tidak terlalu lama majapahit hancur dan hilang seolah ditelan Bumi.

Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M, dan dimakamkan di Tayung (daerah Kediri sekarang). Ia digantikan oleh menantunya dan juga keponakannnya, Wikrawardhana, (suami dari anak perempuannya). Dan anaknya dari selirnya, Bhre Wirabhumi, diber kekuasaan di ujung Jawa timur. Dan dalam perkembangannya sering terjadi perang antara kedaton kulon (Wikramardhana) dan kedaton wetan (Bhre Wirabhumi), untuk memperebutkan keekuasaannya. Dengan demikian Setelah hayam Wuruk wilayah Majapahit hanyalah kekuasaan yang meliputi jawa tengah dan jawa timur.

Patih Gajah Mada meninggal pada tahun 1364 M (7 tahun setelah perang bubat).

Belum ada Komentar untuk "Kisah Asal Usul Prabu Linggabuana Dari Kerajaan Sunda"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel