Sejarah Asal usul Terbentuknya Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali

Pada awalnya semua kerajaan bernaung dibawah dinasti Gelgel yang memegang tampuk kekuasaan. Selain Gelgel, Kerajaan Tabanan merupakan pemegang kekuasaan kedua di Bali.


Dimana Arya Damar (Arya Kenceng) berperan sebagai menteri utama dalam struktur Raja Bali, memiliki kewenangan untuk mengatur tinggi rendah derajat kebangsawanan (catur jadma), menjatuhkan hukuman atau denda yang berat dan ringan, selain itu Arya Kenceng juga berhak untuk mengatur seluruh para arya, sedangkan para arya itu dilarang membantah Arya Kenceng (Babad Arya Tabanan, terjemahan Ida I Dewa Gde Catra). Kewenangan ini diberikan karena kesetiaan Arya Kenceng terhadap Dalem Sri Kepakisan.

Setelah mencapai puncak kejayaan pada masa Dalem Waturenggong, belakangan terjadi pemberontakan-pemberontakan, yang silih berganti yang menggoncang kekuasaan raja dinasti Gelgel. Kesemua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan karena masih banyaknya rakyat yang setia pada raja.

Akan tetapi dalam pemberontakan terakhir yang dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti (Kryan Maruti), kekuasaan dinasti Gelgel mulai tergerus, satu persatu kerajaan-kerajaan kecil yang berada dibawah Gelgel melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat. Dimulai dengan Buleleng, Karangasem, kemudian terdapat 10 kerajaan di Bali yang merdeka dan berdaulat (Sejarah Bali, 1980 : 69)

Walaupun akhirnya pemberontakan Kryan Maruti dapat dipadamkan dan keraton dapat kembali direbut akan tetapi pengaruh Gelgel pada saat itu sudah sangat tergerus. Dimana akhirnya banyak bermunculan kerajaan kecil dan gelar Dalem berubah menjadi Dewa Agungdan para anglurah menjadi raja yang merdeka secara politik, akan tetapi tetap mengakui Dewa Agung sebagai susuhunan.

Kerajaan Tabanan merupakan salah satu kerajaan yang menyatakan diri berdaulat penuh yang berada di daerah bali selatan dan yang masih merdeka sampai tahun 1906. Bahkan Geertz menyatakan bahwa Kerajaan Tabanan pada masa prakolonial adalah salah satu kerajaan di Bali yang paling maju, dimana kekuatannya dapat dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk dan tidak pernah dijajah.

Awal kehancuran Kerajaan Tabanan dimulai pada tahun 1903 dimana pada saat itu Belanda melarang diadakannnya mesatia pada saat palebon Arya Ngurah Tabanan. Walaupun pemerintah Belanda telah mengirimkan peringatan dimana akan menyerang Kerajaan Tabanan apabila mesatia tetap dilaksanakan. Kenyataannya, mesatia tetap dilaksanakan dan belanda tidak menyerang Kerajaan Tabanan pada saat itu karena tabanan punya hubungan baik dengan Kerajaan Badung.

Hal ini dikarenakan ada ketakutan dari pihak Belanda pada saat itu, apabila menyerang Kerajaan Tabanan maka Kerajaan Badung akan ikut campur membantu Kerajaan Tabanan, sedangkan pada saat itu Belanda masih sibuk dengan pertempuran-pertempuran lain. Setelah Kerajaan Badung runtuh tahun 1906, maka tinggal menunggu waktu saja bagi Kerajaan Tabanan. Alasan Belanda ialah karena Kerajaan Tabanan membantu Kerajaan Badung pada saat perang melawan Belanda.

Setelah wilayah Kerajaan Tabanan seluruhnya jatuh ke tangan pemerintah Belanda, struktur pemerintahan kolonial Belanda di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Hal ini dikarenakan untuk mencegah perlawanan penduduk yang tentunya lebih segan kepada rajanya daripada pemerintah Belanda.

Karena itulah,kemudian belanda memutuskan untuk memulangkan keluarga Puri Gede (Puri Agung) ke Tabanan dan mengembalikan status raja kepada Puri Gede. Akan tetapi, kedudukan raja adalah merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Dalam bidang pertanggung jawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan  di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan raja-rajanya bertanggung jawab kepada asisten residen yang berkedudukan di Denpasar.

Kemudian diangkatlah  I Gusti Ngurah Gede menjadi raja di Tabanan, dari pemulangan keluarga kerajaan Tabanan di Lombok. Masa pemerintahan I Gusti Ngurah Gede kelahiran Puri Gede Tabanan memegang tampuk pemerintahan di Kabupaten Tabanan mulai tahun 1942 jaman pemerintahan Hindia-Belanda sampai tahun 1952. Melalui tiga jaman yaitu jaman pemerintahan Hindia Belanda, jaman Jepang dan jaman kemerdekaan.

Dalam struktur pemerintahan tradisional raja membawahi seorang patih dan secara hierarki dibawahnya adalah punggawa, perbekel dan yang paling bawah adalah klian. Controleur sebagai pegawai pemerintah Belanda hanaya dibantu oleh seorang juru tulis atau (schryver). Hal ini masih tetap dipertahankan sampai era penjajahan Belanda dan Jepang, hanya berganti istilah saja.

Dalam jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, beliau memerintah berdasarkan Staadblaad 1938 nomor 539 merupakan salah satu dari delapan kerajaan yang diakui sebagai landschap (daerah swapraja) oleh pemerintah Hindia Belanda. Bersama-sama Badung, setelah diabhiseka Beliau bergelar Cokorda Tabanan yang sering juga disebut dengan Ida Tuanku Cokorda

Sebagai pimpinan swapraja diberikan wewenang mengurus rumah tangga sendiri (otonom) yang terbatas. Di samping berkewajiban menjalankan tugas-tugas untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Bersama raja-raja lainnya di Bali tergabung dalam Paruman Agung yang bertugas membuat peraturan bersama bagi kedelapan kerajaan di Bali.

Pada jaman pemerintahan pendudukan Jepang, pemerintah masih mengakui struktur pemerintahan di daerah yang berlaku sebelumnya, hanya menggantikannya dengan istilah dan nama lembaga-lembaga jepang antara lain Ken-Cee, Sen-Cee, dan Ku-cee.

Dalam jaman perang kemerdekaan, tanggal 24 Desember 1946 pemerintah Belanda berhasil membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang tetap mengakui keberadaan Raja-Raja Bali, namun di lain pihak para pejuang bersama sebagian rakyat tetap mengakui keberadaan KNID.

Berdasarkan peraturan nomor : 1 tahun 1947 yang dibuat oleh Paruman Agung dalam sidangnya tanggal 26 Februari 1947 dengan nama Undang-undang Pembentukan Gabungan Kerajaan di Bali, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1947 di masing-masing kerajaan terbentuk Paruman Negara yang bertugas membantu Raja melaksanakan pemerintahan.

Di lain pihak Presiden Republik Indonesia bersama Badan Pekerja KNIP menerapkan berlakunya Undang-undang nomor 22 tahun 1948 yang intinya mengarah pada sistem desentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi sebagai refleksi penerapan demokrasi parlementer di daerah. Dimana undang-undang tersebut mengatur kekuasaan legislatif yang dijalankan oleh DPRD dan aktivitas pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) dimana kepala daerah merangkap sebagai anggota DPD.

Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 dimana sebagian besar pejuang kemerdekaan di Bali melakukan penurunan umum. Dan sejalan dengan perubahan sikap, dari melakukan gerakan militer aktif menjadi militer pasif. Muncul partai-partai politik seperti : PNI, PSI, PKI, NU Masyumi dan lain-lainnya. Berdasarkan tuntutan untuk segera memberlakukan UU Nomor: 22 tahun 1948 di Bali, maka pada tanggal 8 Juni 1950 Paruman Agung secara mendadak melakukan paruman dan menghasilkan Peraturan Nomor: 1/Darurat yang menetapkan segera dibentuk Badan Pelaksana Pemerintah di Bali.

Menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka tanggal 17 Agustus 1950 Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan Undang-undang nomor : 44/1950 pada 15 Juni 1950 dalam rangka perubahan ketatanegaraan di Indonesia Timur. Setelah adanya NKRI, pimpinan daerah tidak lagi seorang raja, melainkan dijabat oleh pejabat publik dengan sistem pemilihan langsung dari pusat. Sedangkan I Gusti Ngurah Gede menjadi Cokorda yang lebih mengayomi permasalahan adat terutama subak. Bahkan diketahui pertama kali upacara nangluk meranayang melibatkan Cokorda di Desa Adat Kubontingguh dilaksanakan pada saat pemerintahan I Gusti Ngurah Gede.

Pada saat raja terakhir (I Gusti Ngurah Gede) yang diangkat Belanda seda, terjadi kekosongan kekuasaan yang sangat lama di Tabanan. Hal ini dikarenakan putra raja yang madeg Cokorda merasa belum siap menjadi Cokorda. Hal ini berlangsung bertahun-tahun sampai kemudian ada pawisik dari beberapa pura.

Pewisik pertama datang dari Pura Batukaru yang pada setiap odalan meminta adanya trah Cokorda yang madeg di Tabanan. Akan tetapi karena masih aktif sebagai di BRI, maka madeg Cokorda ditunda sampai I Gusti Ngurah Rupawan pensiun. setelah pensiun 1 tahun 8 bulan , kemudian semua subak, Mangku pura dan bendesa merapatkan barisan yang akhirnya memutuskan membentuk panitia untuk madeg Cokorda.

Sebelum panitia terbentuk, kemudian ada lagi pawisik dari Pura Dalem Purwa Kubontingguh dan Pura Puseh Desa Adat Kota Tabanan yang juga meminta adanya Cokorda yang ngancengin jagat Tabanan. Akhirnya pada 21 maret 2008 diadakanlah upacara Madeg Cokorda Tabanandengan gelar Ida Anglurah Cokorda Tabanan X.

Pengangkatan Cokorda ini bukan dikarenakan murni karena ingin mengembalikan Tabanan menjadi daerah feodal, akan tetapi karena kebutuhan dan keinginan dari elemen masyarakat yang membutuhkan seorang figur yang mampu mengayomi mereka, tapi tidak ikut-ikutan berpolitik. Wilayah kekuasaan Cokorda yang sekarang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Tabanan, akan tetapi beberapa daerah seperti Pupuan, Baturiti memiliki otonomi tersendiri.

HARI JADI KABUPATEN TABANAN

Kabupaten Tabanan merupakan Kabupaten yang paling Tua di Provinsi Bali, hari jadi kabupaten Tabanan yaitu tepat pada tanggal 29 November tahun 1495 M.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Asal usul Terbentuknya Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel