Sejarah berdirinya Pondok Pesantren TREMAS, Pacitan Jawa Timur

Asal usul berdirinya pondok pesantren Tremas, Kabupaten Pacitan Jawa Timur



Sejarah berdirinya Perguruan Islam “Pondok Tremas” Pacitan tidak lepas dari sejarah pendirinya yaitu KH Abdul Mannan putra R. Ngabehi Dipomenggolo seorang Demang di daerah Semanten pinggiran kota Pacitan. KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap problematika religius. Pada masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunan, kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso dalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya.

Setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliau mutasi ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat kondusif bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M.

Asal-usul Kata Tremas

Tremas berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan Mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita. Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

PENGASUH


Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan dalam sejarah perkembangannya telah banyak mengalami suksesi kepemimpinan yang dalam civitas pesantren lebih familiar dengan sebutan pengasuh telah memasuki periode keenam;

1. PERIODE KH ABDUL MANNAN (1830-1862)

KH Abdul Mannan yang mempunyai nama kecil Raden Bagus Darso adalah putra dari Raden Ngabehi Dipomenggolo. Beliau adalah peletak batu pertama Pondok Tremas yang dirintis selepas studinya di Pondok Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan KH Hasan Besari.

Selanjutnya beliau mendirikan pondok pesantren didesa Semanten (1 Km dari arah Utara Kota Pacitan). Dengan dasar pertimbangan kekeluargaan, jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, dan lebih kondusif bagi para santri dalam belajar maka akhirnya beliau mutasi ke daerah Tremas.

Dari nama desa Tremas inilah kemudian pondok ini masyhur dengan sebutan Pondok Tremas. Hingga akhirnya KH. Abdul Manan wafat pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdullah.

Generasi Pertama Orang Indonesia di Al Azhar Mesir

Dalam buku Jauh di Mata Dekat di Hati; Potret Hubungan Indonesia – Mesir terbitan KBRI Kairo, disebutkan bahwa pada tahun 1850-an di komplek Masjid Al Azhar telah dijumpai komunitas orang Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Ruwak Jawi (hunian bagi orang Indonesia). Selain Ruwak Jawi, di masjid ini juga terdapat tiga Ruwak lain, yakni Ruwak Atrak (Turki), Ruwak Syami (Suriah) dan Ruwak Maghorobah (Maroko).

Salah satu pelajar pertama Indonesia yang tinggal di Mesir dan tercatat di buku terbitan tahun 2010 ini adalah KH Abdul Manan Dipomenggolo Tremas, kakek dari Syaikh Mahfudz Attarmasi.

KH Abdul Manan Dipomenggolo tinggal di Al Azhar Mesir sekitar tahun 1850 M. Selama di Negeri Piramid, beliau berguru kepada Grand Syeikh ke-19, Ibrahim Al Bajuri. Jadi wajar di tahun-tahun itu ditemukan kitab Fath al-Mubin, syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syeikh Ibrahim Bajuri mulai dibaca di beberapa pesantren di Indonesia.

Pengembaraan KH Abdul Manan Dipomengolo dalam menuntut ilmu di timur tengah kelak diikuti oleh generasi selanjutnya, yaitu KH Abdullah (Putra KH Abdul Manan Dipomengolo), Syaikh Mahfudz Attarmasi, KH Dimyathi Tremas, KH Dahlan Al Falaki Tremas (Ketiganya kakak beradik, Putra KH Abdullah) yang menuntut ilmu di Makkah.

KH Abdul Manan Dipomengolo telah berhasil meletakkan batu landasan sebagai pangkal berpijak ke arah kemajuan dan kebesaran serta keharuman pondok pesantren di Nusantara. Kegigihannya dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, lebih dari itu, juga berhasil menyusun berbagai macam kitab dan memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan dunia Islam, seperti Syaikh Mahfudz, seorang ulama besar Nusantara, Malaysia, dan Thailand yang pernah menjadi imam Masjidil Haram dan pemegang sanad Shoheh Bukhori-Muslim.

Maka sangat wajar bila nama KH Abdul Manan Dipomengolo, pelajar Indonesia pertama di Al Azhar Mesir dan pendiri Pesantren Tremas disebut sebagai peretas jejaring intelectual chains generasi ulama-ulama nusantara

Sedangkan Dalam kitab Al-Ulama’ Al Mujaddidun karya KH. Maimoen Zubair Sarang Rembang, Kiai Abdul Manan adalah salah seorang ulama Ahlussunnah yang pertama kali membawa, mengaji dan mempopulerkan kitab Ithaf Sadat Al-Muttaqin, yaitu syarah dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.

2. PERIODE KH ABDULLAH(1862-1894)

Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdullah. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.

Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.

Pada periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam ( mengaji ) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang masih cukup lebat.

Dengan semakin banyaknya santri maka kebutuhan akan tempat tinggal semakin mendesak hingga akhirnya dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka yang nantinya di masa KH. Dimyathi lebih dikenal dengan nama “ Pondok Wetan “. Dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdullah ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menghkhatamkan kitab-kitab dasar berkeinginan untuk melanjutkan beberapa kitab yang lebih tinggi. Sedang santri lama yang dianggap cakap dilibatkan dalam membimbing santri baru.

Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdullah ini tidak begitu mencolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdullah memimpin Pondok Tremas, beliau telah berhasil meletakkan suatu batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.

Keberhasilan KH. Abdullah dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang kontributif bagi dunia ilmu pengetahuan Islam, seperti KH Mahfudz yang masyhur dengan sebutan “ Attarmasie “ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan Islam di negara Arab.

Barangkali karena pengalaman KH. Abdullah dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musim haji adalah Muhammad mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram dan lebih masyhur dengan sebutan Muhammad Mahfudz Attarmasie.

Dikalangan para kyai Jawa, Syaikh Mahfudz terkenal sebagai seorang ahli hadits. Beliau juga diakui sebagai seoarang Isnad(mata rantai) yang sah dalam trasnisi intelektual pengajaran Shohih Bukhori. Ijazah ini berasal langsung dari Imam Bukhori itu sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara berantai melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai Shohih Bukhori. Syaikh Mahfudz merupakan mata rantai yang terakhir pada waktu itu.

Syaikh Mahfudz bisa dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Beliau mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa arab. Sayang, banyak karianya yang belum sempat dicetak bahkan beberapa diantaranya bahkan dinyatakan hilang. Dalam menulis, konon Syaikh Mahfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa berhenti. Gua Hiro menjadi tempatnya mencari inspirasi. Beliau biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu

Diantara karya-karya besar beliau;

Al-kil’ah al Fiqriyah bi Syarh Al-Minhah Al-Khoiriyyah 13 bagianAl-Budur Al-Munir Al-Imam Ibnu Al-Katsir 6 bagianAl-Fawaidz At-Tirmisiah ‘ala As-Sanid Al-Qiro’at As’ariyahsatu bagianAl-Is’af Al-Matoli bi Syarh Al-Lami’ Nadhom Jam’ Al- Jawami’2 jilidAl-Minhah Al-Khoiriyyah fi ‘Arbain Haditsan min Ahadits Khoir Al-Bariyah dalam 2 bagianAn-Niyah At-Tholabah bi Syarh Nadhom At-Thoyibah fi Al-Qiro’at Al-As’ariah 1 jilidAs-Siqoyah Al-Mardiyah fi Asma Al-Kutb Al-Fiqhiyah Asy-Syafi’iyah dalam 3 bagianBughyah Al-Adzkiya’ fi Al-Bahts ‘an Karomah Al-Auliya’ 3 bagianFath Al-Khobir bi Syarh Miftah As-Sair 15 bagianHasiyah Takmilah Al-Manhaj Al-Kowin Ila Al-Faroid 1 jilidInayah Al-Muftakir Fima Yata’alaq bi Sayyidina Al-Hadhor 2 bagianInsiroh Al-Muad fii Qiro’ah Al-Imam Hamzah 13 bagianKhifayah Al-Mustafid Fima ‘ala min As-Sanid satu bagianManhaj Dzhawi Nadhor bi Syarh Mandumah Ilm AtsharMuhibbah Dzy Al-Fadl ‘ala Syarh Muqoddimah Ba Fadhal 4 jilid besarNail Al-Ma’mul bi Hasyiah Ghoyah Al-Wusul fi ‘Ilmi Al- Ushul 3 jilidTahayu’ah Al-Fikr bi Syarh Al-Fiah As-Sair 14 bagianTamim Al-Manafi’ fi Qiro’at Al-Imam Nafi’ 16 bagianTanwir Ash-Shodr fi Qiro’ah Al-Imam Abi Amr 8 jilidTsulasiatAl-Bukhori 1 bagian.

Pada waktu mengajar di Masjidil Haram, kebanyakan murid-muridnya berasal dari Jawa, antara lain saudara-saudaranya sendiri seperti KH. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdul Rozaq, terdapat juga tokoh-tokoh lain yang setelah pulang ke jawa kemudian menjadi ulama’ besar di daerahnya masing-masing, seperti KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang, KH.Wahab Hasbulloh Tambakberas, KH. Bisri Syansuri Denanyar ( Ketiganya kelak mendirikan Jam’yyah Nahdlatul Ulama’) KH. Baidlowi Lasem, KH. Ma’sum Lasem, KH.Kholil Lasem, KH.Abbas Jamil Buntet Cirebon, KH. Dahlan dari Watucongol Muntilan, Raden Mas Kumambang dari Surabaya, KH.Raden Asnawi Al Hafidz Kudus dan lain sebagainya.

3. PERIODE KH. DIMYATHI (1894-1934)

KH Dimyathi bin KH Abdullah adalah adik kandung KH Mahfudz Attarmasie. Seiring kharisma KH Mahfudz Attarmasie dengan karya-karya monumentalnya dan kealiman dan kewibawaan KH Dimyathi maka Pada periode ini Pondok Tremas mengalami masa kebangkitan yang pertama sehingga dapat di kategorikan sebagai “Masa Keemasan I”. Karena pada periode ini banyak santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di Pondok Tremas. Bahkan menurut data interview dari para senior bahwa kwantitas santri mencapai nominal 3.000-an

Dengan ketinggian ilmu dan spiritualnya, KH Dimyathi lebih dikenal dengan panggilan “Mbah Guru” sehingga akhirnya Pondok Tremas lebih masyhur dengan sebutan “Perguruan Islam Pondok Tremas” yang mengandung pengertian sebagai tempat berguru dan tidak menggunakan istilah yang sering dipakai yakni Pondok Pesantren.

Peninggalan fisik yang saat ini masih terjaga yakni keberadaan Ndalem ( Kediaman) KH. Dimyathi yang terdiri dari empat tiang atau disebut dengan Soko Papat, hingga kini ndalem tersebut dikenal dengan istilah “Ndalem Paguron Soko Papat”

Perlu diketahui bahwa KH Dimyathi pernah mempunyai hubungan “Besan” dengan pendiri Nahdlotul Ulama’ yaitu KH Hasyim Asy’ari. Terbukti dengan menikahkan putra beliau yang bernama KH Haris Dimyathi dengan Ny Fatimah binti KH Hasyim Asy’ari, meskipun pernikahan tersebut tidak bertahan lama.

4. PERIODE KH. HAMID DIMYATHI (1934-1948)

Dengan adanya peristiwa “Affair Madiun” sebagai ekspresi kebiadaban PKI yang menimbulkan banyak korban, tak terkecuali KH Hamid Dimyathi sendiri pun menjadi salah satu korban kekejaman PKI maka pada periode ini mengalami fase kemunduran.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa KH Hamid Dimyathi terbunuh di daerah Jawa Tengah ketika dalam perjalanannya ke Jogja guna penyelamatan jiwanya dan konon atas anjuran Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Dengan kondisi yang tidak menentu ini, maka banyak santri yang lebih memilih pulang demi keselamatan jiwanya dibanding bertahan. Sehingga akhirnya Pondok Tremas mengalami masa kevakuman dalam beberapa tahun. Perlu diketahui bahwa vakum disini bukan berarti tidak ada aktivitas santri sama sekali namun hanya sebatas tidak ada figur yang dianggap sebagai Kyai.

5. HABIB DIMYATHI (1948-1997) & PERIODE KH HARIS DIMYATHI (1948-1994)

KH Habib Dimyathi dan KH Harist Dimyathi adalah dua bersaudara dan merupakan adik kandung KH Hamid Dimyathi. Sepulang Beliau berdua dari Pondok Krapyak Jogjakarta dibawah asuhan KH Ali Ma’sum, dengan dibantu KH Hasyim Ihsan yang masih ada kerabat dengan keluarga, mereka bertiga mulai membangun kembali Pondok Tremas.

Pada periode ini merintis adanya pembagian tugas, yakni KH Habib Dimyathi yang memegang kendali seluruh lembaga pendidikan yang ada dibawah naungan Pondok Tremas, KH Haris Dimyathi yang mengembangkan metoda pendidikan dan pengajaran seluruh lembaga pendidikan di Pondok Tremas, lalu KH Hasyim Ihsan menangani bidang social spiritual secara menyeluruh baik intern komunitas pondok dan ekstern masyarakat sekitar.

Dengan adanya job deskripsi yang termenej dengan baik diantara ketiga beliau maka pondok yang telah mengalami kevakuman ini berangsur mulai ramai didatangi santri dari berbagai penjuru nusantara. Sehingga periode ini dapat dikategorikan sebagai “Masa Keemasan II”. Sesuai data statistic pondok, kwantitas santri mencapai 2.500-an.

6. PERIODE KH. FUAD HABIB DIMYATHI & KH LUQMAN HARIS DIMYATHI (1997- Sekarang)

Setelah wafatnya KH Haris Dimyathi, KH Habib Dimyathi dan KH Hasyim Ihsan, kepengasuhan Pondok Tremas dilanjutkan oleh putra-putra beliau antara lain KH Fuad Habib Dimyathi, KH Luqman Harist dan KH Mahrus Hasyim ( Wafat 2006)

Sebagai Public figure yang masih relative muda, Gus Fuad dan Gus Luqman memiliki spirit dan motivasi yang responsif demi kemajuan dan perkembangan Pondok Tremas. Langkah pertama yang mengawali periode ini adalah pembenahan sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok Tremas. Langkah ini dinilai sangat relevan karena masjid merupakan sentral aktivitas komunitas pesantren bahkan masyarakat desa Tremas. Pembangunan masjid yang menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 M ini dimulai pada tahun 1998 dan akhirnya selesai sekaligus diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dalam even Reuni Nasional II pada tahun 2006 silam.

Berikutnya pembangunan infrastruktur yang lain ikut menyusul seperti pembangunan madrasah sekitar masjid, asrama santri, pavingisasi, laboratorium computer & bahasa, pengembangan koprasi santri, ruang diklat dan lain sebagainya yang menunjang pendidikan dan pengajaran santri.

Disamping pembangunan fisik pondok, langkah strategis lainnya yaitu revisi kurikulum yang relevan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis sebagai upaya menjaga kualitas santri yang sedang menempuh pendidikan, lebih-lebih santri yang telah selesai studinya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah Realisasi status “Pesantren Mu’adalah” yang diperoleh Pondok Tremas berdasarkan SK DIRJEN Pendidikan Islam Nomor: DJ.II/DT.II.II/507/2006.

Alhamdulillah pada tahun 2014 ini, status Pesantren Mu’adalah sudah resmi setelah di tandatanganinnya Peraturan Menteri Agama ( PMA ) tentang status Mu’adalah oleh menteri Agama RI Lukman Hakim Syaifuddin. Hingga status Mu’adalah semakin kuat dan mempunyai hak-hak yang sama dengan lembaga pendidikan formal.

Selanjutnya kwantitas santri Pondok Tremas saat ini masih relatif stabil pada kisaran 2.000-an. 

Belum ada Komentar untuk "Sejarah berdirinya Pondok Pesantren TREMAS, Pacitan Jawa Timur"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel