Sejarah Legenda Kesultanan Kacirebonan

Kesultanan Kacirebonan berdiri pada tahun 1808 sebagai hasil perundingan keluarga besar kesultanan Kanomandikarenakan telah bertahtanya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik dari Pangeran Raja Kanoman (putera tertua Sultan Anom IV Pangeran Raja Adipati Muhammad Chaerudin), hasil dari perundingan besar menghasilkan bahwa kesultanan Kanoman dibagi menjadi dua, yaitu kesultanan Kanoman dengan sultannya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin dan kesultanan Kacirebonan dengan sultannya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang diberi gelar Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Kacirebonan Amirul Mukminin.

 Pada masa awal menjabat Sultan Kacirebonan I tidak memiliki keratondia hidup sederhana dengan permaisurinya yaitu Ratu Raja Resminingpuri di Taman Sari Gua Sunyaragi dan selalu menolak uang pensiunan yang diberikan oleh Belanda. Baru setelah dia meninggal pada tahun 1814, dikarenakan putranya yang masih kecil yaitu Pangeran Raja Madenda, Ratu Raja Resminingpuri memutuskan untuk membangun keraton Kacirebonan dan menjadi wali sementara bagi puteranya.

ASAL USUL KESULTANAN KACIREBONAN

Pada tahun 1677, para pengeran (bahasa Cirebon : Elang) dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram berhasil diselamatkan oleh kesultanan Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran Nasiruddin yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta bantuan kepada sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram.

 Pada kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan Belanda pun dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Bantenmemutuskan untuk melantik Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di Cirebon utamanya para bangsawan.

 Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton Kasepuhan) pada tahun 1679, namun ternyata masalah internal keluarga besar ini tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda yang sedang berperang dengan kesultanan Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.

Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa mereka untuk menyetujuinya.

 Perjanjian persahabatan tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).

Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon : pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.

 Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon), Belanda mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya ;

“bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing”

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut.

Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.

Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya yaitu Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan (pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).

Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu.

 Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun 1700 mengangkat Jacob Hiermans Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, dalam bukunya sejarah cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Jacob Hiermans Palm.

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguron Kaprabonan pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru disana.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.

Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebonresmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap).

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kaharudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguronKaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron(tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawamengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebonselalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Akhirnya pada tahun 1700, setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Hiermans Palm sebagai pejabat penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob Hiermans Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan habis (secara politik).

Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat.

 Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706, secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut

“"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"”

PERANG MELAWAN PENJAJAH

Pada sekitar tahun 1790-an, Sultan Muhammad Chaerudin menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom IV menggantikan ayahnya Sultan Anom III Alimuddin, dikatakan semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV dari permaisurinya).

Pada waktu itu telah lama melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, namun perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793 dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun 1796, baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting.

 Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu William Batavus (William V) untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut dirubah namanya dari Dutch Republic(bahasa Indonesia : Republik Belanda) menjadi Batavian Republic (bahasa Indonesia : Republik Batavian (secara harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris, William Batavus kemudian mengeluarkan Kew Letter sebuah surat perintah yang menugaskan para pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos pos mereka kepada British, hal inilah yang kemudian memudahkan British untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal Kew Letter tersebut Melaka, Padang dan Ambon berhasil dikuasai oleh British dengan mudah, di tahun ini sebenarnya Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting sudah menyadari ada dinamika di negara asalnya bahwa kini Dutch Republictelah dikuasai oleh Perancis dan dirubah namanya menjadi Batavian Republic.

Pada tahun 1798, pada masa itu Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah Raad van Indie-nya (bahasa Indonesia : Dewan Hindia) di Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu oleh Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja pensiun dengan telah datang penggantinya Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini di kesultanan Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman, dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan permaisuri.

Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)dibubarkan, British berhasil mengambil alih wilayah Tidore[14]serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800.

Pada 22 Agustus 1801 Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten meninggal dunia dan kemudian posisinya digantikan oleh Gubernur Jenderal Johannes Siberg(menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes Sibergdiwarnai oleh berbagai perjuangan para penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.

PERANG BESAR CIREBON

Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon, terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai, Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761.

 Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede. Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah).

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh pengikutnya yang banyak. Secara garis besar kondisi perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat rendah oleh residen.

Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan British pada tahun 1800, pulau Onrust yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali, sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin dan hal ini disetujui oleh Belanda, dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.

Dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam, permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, berdatanganlah perwakilan masyarakat Cirebon untuk menemui Gubernur Jenderal yang baru menjabat yaitu Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese, mereka datang untuk menuntuk hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang telah meninggal pada 1803.

Perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian dimana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman, Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu S.H Rose kemudian mengajukan permohonan agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal.

Permohonan S.H Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 17 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon, mendengar hal ini Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese, dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon.

Hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda.

Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) .

Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.

DIBENTUKNYA KACIREBONAN

Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas hingga keluar wilayah karesidenan Cirebon, ditengah perjuangan besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1 September 1806 Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi. dalam bukunya Geschiedenis van Nederlandsch Indie, VFrederik Willem Stapel mengatakan,

“sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih perang”

namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, namun kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan yang sedang berlangsung.

Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1808 yang memimpin dengan cara kediktaktoran.

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda, segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua wilayah karesidenan (wilayah pembantu Gubernur Jendral) kemudian ditetapkan,

Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (Karesidenan Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang)Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (Karesidenan kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar).

Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman Willem Daendelsmemperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Amirul Mukminin Muhammad Chaeruddin II di kesultanan Kacirebonanyang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.

Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.

 Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II yang dahulunya adalah Pangeran Raja Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap selalu menentang pemerintah.

Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris (british : orang-orang britain) kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan Mei 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.

namun adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa Panongan dan dihukum mati di desa Karangsembung (dahulu merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.

AKHIR PERANG CIREBON

Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Rafflesmemerintahkan langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris.

SILSILAH KESULTANAN KACIREBONAN

- Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Kaceribonan Amirul Mukminin (bertahta 1808 - 1814)
- Sultan Kacirebonan II Pangeran Raja Madenda Hidayat (bertahta dari 1814 - 1851)
- Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya (bertahta dari 1851 - 10 Oktober 1914)
- Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda Partadiningrat (bertahta dari 9 November 1916 - 31 Juli 1931)
- Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda Raharjadiningrat (bertahta dari 12 Maret 1933 - 24 Februari 1950)
- Sultan Kacirebonan VI Pangeran Raja Sidek Arjaningrat (bertahta dari 24 Februari 1950 - 14 Januari 1957)
- Sultan Kacirebonan VII Pangeran Raja Harkat Nata Diningrat (bertahta dari 14 Januari 1957 - 14 Februari 1969) menggantikan saudaranya Sultan Kacirebonan VI
- Sultan Kacirebonan VIII Pangeran Raja Moh Mulyono Amir Natadiningrat (bertahta dari 14 Februari 1969 - 8 November 1994)
- Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga (bertahta dari 28 Mei 1997 - )

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Legenda Kesultanan Kacirebonan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel