Sejarah Awal mula Pembuatan Masjidil Aqsha

Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun pada masa Umar bin Khaththab, meskipun beberapa pendapat menyatakan bahwa masjid ini dibangun pada masa Kekhalifahan Umayyah.


Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansurpada tahun 754, dan dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun 780.

Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Jami' al-Aqsha pada tahun 1033, namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga kini.

Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah melakukan penambahan terhadap Al-Jami' al-Aqsha dan kawasan sekitarnya, antara lain pada bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior bangunan.

Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan Kubah Ash-Shakhrah sebagai gereja, namun fungsi masjid dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddinmengambil alih kepemimpinan kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam, dan Yordania.

Pembakaran Al-Jami' al-Aqsha pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubiterbakar habis.

Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania, meskipun ada pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.

PENAMAAN MASJID

Al-Jami' al-Aqsha adalah bangunan berkubah abu-abu yang berada di kompleks Masjid Al-Aqsha, yaitu di bagian selatan. Kata Al-Jami’ (اَلْجَامِعُ) makna 'masjid', yang berasal dari kata Al-Jumu'ah yang berarti 'mengumpulkan' (untuk salat jama'ah). Nama lain dari masjid ini antara lain Masjid Al-Qibli atau Al-Jami' al-Qibli (bahasa Arab:الجامع القِبْلي).

Selama berabad-abad, yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsha adalah keseluruhan kompleks tersebut, yang dianggap sebagai suatu wilayah yang suci. Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah, di mana wilayah kompleks secara keseluruhan disebut sebagai Al-Haram asy-Syarif; sedangkan bangunan yang terletak di bagian selatan disebut sebagai Al-Jami' al-Aqsha, yaitu tempat Umar bin Khaththab pertama kali mendirikan masjid di antara reruntuhan.

Hadits Imam Ahmad menyebutkan percakapan Umar bin Khattab dan Ka'ab al-Ahbar, di mana Ka'ab menyarankan untuk membangun masjid di belakang batu Ash-Shakhrah, sedangkan Umar menolak dan memilih tempat di sebelah selatan untuk membangun masjid dengan kiblat yang mengarah ke Ka'bah saja, sehingga posisi batu tersebut berada di belakangnya.

Al-Jami' al-Aqsha yang didirikan Umar bin Khattab tersebut, juga berbeda dengan Masjid Umar, yaitu sebuah masjid yang dibangun pada masa kekuasaan Dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12, untuk mengenang pengambil-alihan Yerusalem oleh Umar bin Khattab yang mewakili umat Islam.

Tradisi setempat menceritakan bahwa pada saat pengambil-alihan tersebut, Umar diundang oleh Patriark Sophonius untuk beribadah di dalam Gereja Makam Kudus, namun Umar memilih mengerjakan salat di luar, di dekat pintu masuk gereja. Masjid Umar terletak bersebrangan dengan Gereja Makam Kudus, di luar kompleks Masjid Al-Aqsha.

KONSTRUKSI

Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa lokasi.

Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit.

Konstruksi tiang-tiang kolom besar persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan memiliki usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi.

Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babiloniamereka, yaitu 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan.

Pada saat gempa bumi tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut adalah cypress(sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut pada sekitar 900 SM.

Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan.

KONSTRUKSI UMAYYAH

Ada beberapa pendapat terkait waktu Al-Jami' al-Aqsha pertama kali dibangun. Pendapat yang paling masyhur adalah Al-Jami' al-Aqsha merupakan tempat Umar bin Khaththab melaksanakan salat jamaah saat berkunjung ke Yerusalem dan Umar pula yang memerintahkan pendirian bangunan tersebut.

Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa bangunan ini dibangun di masa pemerintahan Kekhalifahan Umayyah, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa bangunan awalnya dibangun Umar dan kemudian dibangun ulang pada masa Kekhalifahan Umayyah.

Merujuk pada kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang berziarah ke Palestinapada 679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat bahwa Umar bin Khaththab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif dengan daya tampung 3.000 jamaah di suatu tempat di kompleks Masjid Al-Aqsha (disebut kompleks Bukit Bait Suci oleh umat Yahudi).

Meski demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Muawiyahlah yang mungkin sebenarnya memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir al-Maqdisi.

Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama renovasi pada tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.

Menurut beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin al-Ulaimi, Jalaluddin as-Suyuthi, dan Syamsuddin al-Maqdisi, masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.

Guy le Strange mengklaim bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kita yang hancur untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut.

Dalam merencanakan proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah keseluruhan kompleks itu menjadi Masjid Al-Aqsha, Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema lengkap rancangannya.

Namun, seluruh kompleks Al-Aqsha itu dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah, yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat kompleks.

Jembatan kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok selatan Al-Aqsha, sebagai jalan langsung menuju masjid. Adanya jalan langsung dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah, sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya.

Abdul Malik menggeser poros tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya atas Masjid Al-Aqsha. Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar". Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya menyejajarkan Al-Jami' al-Aqsha yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama utara-selatan Al-Aqsha yang sebelumnya, yaitu garis yang melalui Kubah As-Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi bergeser.

Creswell, yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul Malik adalah yang membangun kembali Al-Jami' al-Aqsha selama periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus.

Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut.

Untuk membiayai rekonstruksi ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan. Al-Jami' al-Aqsha yang dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.

GEMPA BUMI DAN PEMBANGUNAN KEMBALI

Pada tahun 746, Al-Jami' al-Aqsha rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas as-Saffahmenggulingkan Ummayah dan mendirikan kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar al-Mansur pada tahun 753 menyatakan niatnya untuk memperbaiki masjid itu.

Ia memerintahkan agar lempengan emas dan perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian merusak sebagian besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian selatan masjid.

Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad al-Mahdimembangunnya kembali, tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya. Renovasi Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang menjelaskan hal itu.

Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran Yerusalem bernama Al Maqdisimencatat bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas gerbang".

Pada tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh Zhahir membangun kembali dan merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi dari lima belas menjadi tujuh.

Azh Zhahir membangun empat buah arkade untuk aula tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula tengah diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung atap besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu.

Daerah Al-Haram (daerah yang suci) terdapat di sebelah timur dari kota ini; dan melalui bazar di (bagian kota) ini anda akan memasukkan Daerah tersebut melalui pintu gerbang (Dargah) yang besar dan indah. Setelah melewati gerbang ini, di sebelah kanan anda terdapat dua baris tiang-tiang besar (Riwaq), masing-masing memiliki sembilan dan dua puluh pilar-pilar marmer, yang bagian puncak dan dasarnya berupa pualam berwarna, dan persambungannya terbuat dari timah.

Di atas pilar-pilar terdapat lengkungan-lengkungan, yang terbuat dari batu bata, tanpa pelapis plester atau semen, dan setiap lengkungan dibangun dengan tidak lebih dari lima atau enam blok batu. Pilar-pilar ini mengarah sampai ke dekat Maqsurah.

Yerusalem direbut oleh Tentara Salib pada tahun 1099, selama Perang Salib Pertama. Alih-alih menghancurkan Al-Jami' al-Aqsha, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119, tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar.

Selama periode ini, masjid mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara, penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah kloster baru dan sebuah gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan beberapa struktur bangunan lainnya.

Para Ksatria Templar membangun pavilyun berkubah di sisi barat dan timur bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi sebagai masjid untuk jamaah perempuan dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum Islam.

Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada tahun 1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Al-Jami' al-Aqsha. Nuruddin Zengi yang menjadi sultan sebelum Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu baru selesai setelah ia wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh Shalahuddin ke masjid pada bulan November 1187.

Penguasa Ayyubiyah di Damaskus, Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga buah gerbang. Pada tahun 1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al Kamil Shaban menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.

Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517, mereka tidak melakukan renovasi atau perbaikan besar atas Al-Jami' al-Aqsha secara khusus, tetapi mereka melakukan perbaikan pada Masjid Al-Aqsha secara keseluruhan.

Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim Pasya(1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah An-Nabi, dibangun pada tahun 1538.

Semua pembangunan adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan bukan atas perintah para sultan. Walaupun demikian, para sultan melakukan penambahan pada menara-menara yang telah ada.

RENOVASI

Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Al-Jami' al-Aqsha dan monumen-monumen di sekitarnya.

Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan Kemalettin.

Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatan lengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton.

Renovasi tersebut juga menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga.

Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya. Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, namun masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.

Pada tanggal 21 Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Al-Jami' al-Aqsha yang memusnahkan bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara barang-barang yang rusak terbakar.

Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah dan menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat menyalahkan Israel dan memancing permusuhan.

Namun kemudian terbukti bahwa kebakaran itu bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang turis Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of God.

Ia berharap bahwa dengan membakar Al-Jami' al-Aqsha, ia dapat mempercepat Kedatangan Kedua Yesus, dengan cara mempermudah dibangunnya kembali Bait Suci Yahudi di kompleks Masjid Al-Aqsha. Rohan dirawat di lembaga perawatan mental, didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.

Serangan terhadap Al-Aqsha disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi Konferensi Islampada tahun 1971, yang merupakan organisasi dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.

Pada tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah tanah Gush Emunim, merencanakan untuk meledakkan Al-Jami' al-Aqsha dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa meledakkan dua bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel, dan menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi.

Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.

Pada tanggal 15 Januari 1988, yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran di luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka.

Pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari 100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.

ARSITEKTUR

Bangunan Al-Jami' al-Aqsha berada di Masjid Al-Aqsha bagian selatan dengan kubah keperakan. Bentuk bangunannya persegi dengan luas 35.000 m2, sehingga dapat menampung 5.000 jamaah. Panjang bangunan masjid adalah 272 kaki(83 m) dan lebarnya 184 kaki (56 m).

KUBAH

Berbeda dengan Kubah Batu yang mencerminkan arsitektur Romawi Timur klasik, kubah Al-Jami' al-Aqsha menunjukkan ciri arsitektur Islam awal. Kubah yang asli dibangun oleh Abdul Malik bin Marwan, namun sekarang sudah tidak ada lagi sisanya.

Bentuk kubah seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah.

Pada tahun 1969, kubah dibangun kembali dengan menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi sebagai ganti dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada tahun 1983, aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.

Kubah Al-Jami' al-Aqsha adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di depan mihrab selama periode Umayyah dan Abbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850).

Interior kubah dicat menurut dekorasi era abad ke-14. Pada kebakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan teknik trateggio, yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Awal mula Pembuatan Masjidil Aqsha"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel