Penyebab Kematian dan Kekalahan Dursasana, Kisah Mahabharata

Dursasana adalah adik pertama dari Duryodana yang merupakan 100 kurawa. Dia memiliki sifat yang kejam dan tidak berperikemanusiaan, tapi agak bodoh orang nya.

Sebelum perang baratayuda berlangsung, dursasana yang memaksa drupadi ke arena perjudian, dan kemudian menarik pakaian drupadi dengan tujuan untuk membuat telanjang. Hal tersebut disaksikan oleh seluruh orang istana baik para pandawa, 100 kurawa, kakek bisma, guru drona, dan destrarasta (ayah kurawa).

Pada saat itu, Bima bersumpah akan membunuh 100 kurawa dan akan memotong kedua tangan dursasana saat perang baratayuda. Dan akan meminum darah nya. Tak hanya bima saja yang bersumpah, drupadi juga demikian. Dia bersumpah akan mandi darah dari darahnya dursasana.

Setelah lama nya waktu berlalu, dan para pandawa menghabiskan hidupnya dihutan karena diusir dari Hastinapura selama bertahun-tahun, akhir nya perang baratayuda tak dapat dielakkan.

Perang baratayuda merupakan perseteruan sengit antara satu keluarga besar pada kerajaan hastinapura. Perang tersebut dilatarbelakangi banyak hal, utamanya motif balas dendam dan juga motif ingin berkuasa di kerajaan hastinapura.

Dursasana tewas pada perang baratayuda pada hari ke 16. Dia tewas dibunuh oleh Bima (pandawa). Sebelum dibunuh, dia disiksa terlebih dahulu dengan cara dipotong kedua tangannya, dan kemudian diminum darah nya. Tak hanya itu saja, drupadi juga menyusul ke medan pertempuran untuk mandi darahnya dursasana. Sangat mengerikan dan sadis.

BIMA MEMINUM DARAH DURSASANA

Pada versi lain pertempuran Barata Yuda Bima berhasil bertemu tanding dengan Dursasana, setelah beberapa saat mereka bertarung, terlihatlah bahwa Bima lebih unggul. Dursasana sudah mulai merasakan kesakitan pada badannya yang melemah.

Bima memandang dengan penuh dendam, teringat perbuatan si Dursasana yang mempermalukan Dewi Drupadi isteri kakaknya Yudistira. Sesaat kemudian berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di sekitarnya,  ia menyeret si Dursasana.

”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang menjelma di dunia ini! Lihat inilah  Bima  yang sedang akan memenuhi janjinya di tengah medan pertempuran. Darah Dursasana inilah yang akan aku minum.  Lihatlah!

”Dan untuk dewi Drupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai rambutnya.”

“Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dursasana dan rasakan pahalamu untuk membuat kejahatan yang terus menerus. bah !”

“bahwa kau ini tetap meronta-ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akankah kau lanjutkan perbuatanmu yang jahat itu? ”


“Mengapa, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”

Demikianlah ucapan Bima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus Dursasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, dia merobek perut itu dengan kukunya yang sangat tajam, pada saat Dursasana masih hidup.

Pada ketika itu Dursasana menjadi tidak sadarkan diri dari rasa sakit yang tak tertahankan; kemudian setelah perut yang sudah robek itu, dada Dursasana juga di sudet  lebih lebar lagi.

Kelihatannya seolah-olah Dursasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit.

Dan saat itu tiba ketika Bima minum darah orang yang masih hidup itu, Dursasana dengan gelap mata memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, meronta-ronta dan mencoba memegang Bima, padahal badannya sedang berkelojotan sekarat.

Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bima minum darah dan dengan ketetapan hati dan mata merah dan marah, menarik usus Dursasana keluar dari perutnya.

Kelihatannya seolah-olah ia akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.

Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega merah yang kena sinar matahari. Bima yang berjalan dengan angkuhnya itu dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjulang ke atas. Dengan segera ia melempar-lemparkan mayat Dursasana ke atas, dan jatuh ketempat Suyudana berdiri disertai oleh kata-kata seperti guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!”
Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya. Telah bertahun-tahun dia menunggu saat ini. Saat penggenapan sumpahnya ketika dia dipermalukan oleh Dursasana. Bahwa dia tidak akan menggelung lagi rambutnya hingga dia bisa keramas dengan darah Dursasana.

”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya kepada perempuan abdinya, yang segera membawa bokor itu ke arah Bima. Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu.

Drupadi ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya berisi kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?

”Inilah air kutukan itu, Dewi.” Bima menyerahkan bokor itu kepada Drupadi yang sedang berada didalam tenda.

Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas itu ke atas kepalanya. Maka terjadilah penggenapan sumpahnya dia berkeramas dengan darah Dursasana.



Pada senja di hari kematian Dursasana itu, orang-orang melihat cahaya berkilat menyemburat ke langit dari tenda Drupadi. Cahaya terang yang memancar-mancar. Para pengawal berlarian menuju tenda itu. Namun mereka berpapasan dengan dayang-dayang yang berwajah pucat.

”Dewi Drupadi…”
”Kenapa Dewi Drupadi?”
”Mandi darah.”

Pengawal pertama yang menyibak tenda terkejut melihat Drupadi sedang bersamadi dengan seluruh tubuh bersimbah darah. Cahaya memancar dari tubuhnya, semburat ke tenda dan menembus tenda ke angkasa.

"lunas sudah piutangmu Dursasana
tak terlunaskan piutang pada kesucian
Semua kejahatan ada bayarannya
Meski kebaikan tidak minta balasan"

Pada malam harinya Drupadi berkumpul dengan suami dan saudaranya. Hari itu Karna juga telah gugur…. dikalahkan oleh Arjuna ….

”Apa hasil perang ini,” kata Drupadi,

”putra-putra Pandawa yang perkasa seperti Irawan, Abimanyu, dan Gatotkaca telah gugur”.

“Kita akan menang, tapi apa arti kemenangan ini,  selain pelampiasan dendam yang tidak terpuaskan? ”

“Orang-orang yang kita hormati telah tiada… Kemenangan ini akan kita persembahkan kepada siapa?”

Kresna menunduk dan mulai bicara.

”Bharatayudha adalah suatu penebusan, Drupadi…”

“Resi Bhisma menebus kelalaiannya kepada Dewi Amba. Mahaguru Durna menebus kesalahannya kepada Ekalaya dari Nisada. Esok pagi Salya akan menebus kebenciannya terhadap Bagaspati, mertuanya sendiri. ”

“Kita hidup dalam lingkaran karma. Kodrat tak terhindarkan, tapi tidak untuk disesali. Bahkan Salya pun tidak punya niat jahat, karena ia dulu adalah Sumantri yang mengingkari Sukasrana. Bagaimanakah caranya kita menghindari diri kita Drupadi? Tidak bisa… ”

“Bharatayudha hanyalah jalan bagi setiap orang untuk memenuhi karmanya, melengkapkan perannya, untuk membersihkan dunia. Kelak anak Utari yang bernama Parikesit akan menjadi raja, saat itu dunia bersih bagai tanpa noda, tapi tetap saja ada yang bernama malapetaka…”

“Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan itu. Perang ini penuh perlambang baik dan jahat..”

“Siapakah yang lebih jahat Drupadi, Dursasana yang menelanjangimu atau Bima yang menghirup darah Dursasana?  Perang ini menyimpan sebuah pertanyaan. Apakah jalan kekerasan para ksatria itu bisa dibenarkan?..”

Drupadi tertunduk menjawab, dengan hati galau..

”Aku Drupadi, seorang perempuan, terus terang menghendaki darah Dursasana, untuk memberi pelajaran kepada penghinaan.”


”Jawabannya bisa lebih panjang Drupadi. Engkau seorang perempuan telah memberi pelajaran tentang bagaimana perempuan menghidupkan diri dengan dendam. Sama seperti dendam Amba kepada Bhisma, sama seperti dendam Gandari kepada penglihatan karena mendapat suami dalam kebutaan. ”

“Perang ini memberi peringatan, wahai Drupadi, betapa dendam bisa begitu mengerikan. Para Pandawa adalah ahli bertapa, namun di seluruh anak benua ini tiada pembunuh yang lebih kejam daripada mereka.”

”Kresna yang bijak, ingatlah bahwa para Pandawa selalu membela kebenaran.”

”Tidak ada yang keliru, duhai Drupadi yang cerdas, bahkan mereka akan selalu dilindungi para dewa. Tapi renungkanlah kembali makna dari sebuah kekerasan.”

”Dunia ini memang penuh kekerasan, Kresna. Terutama aku, perempuan, yang selalu jadi korban.”

”Maka memang menjadi pilihan, Drupadi, kita akan menggunakan kekerasan atau berusaha menghindari  kekerasan.”

Drupadi berdiri, kesal karena merasa disalahkan karena dendamnya ke Dursasana.

”Kresna, engkau sungguh pandai bicara. Tapi engkau belum pernah menjadi korban. Itulah masalahmu Kresna, engkau mengerti segalanya, namun engkau tidak pernah merasakannya.

“Aku adalah korban, dan aku menggunakan hak diriku sebagai korban untuk menjawab nasibku dengan kemarahan. Engkau mengatur segala-galanya. Kau korbankan Gatotkaca, agar Karna melepaskan Konta, sehingga Arjuna bisa menandinginya.”

“Apakah engkau tidak pernah mendendam Kresna, engkau memutar leher Sishupala hanya karena kata-kata, engkau membunuh Salwa orang bodoh yang mengacau Dwaraka. Itukah pelajaranmu untuk dunia? Aku sudah menjadi korban, dan dari seseorang yang sudah menjadi korban, engkau memintanya agar berjiwa besar.?”

“Apakah itu tidak terlalu berlebihan? Biarlah Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, tapi aku Drupadi, seorang perempuan, menggunakan hak diriku sebagai korban untuk melakukan pembalasan.”

”Itu hanya membuktikan, wahai Drupadi, bukan hanya kejantanan yang menjadi korban kekerasan.” Jawab Kresna.

”Kresna, Kresna, bagimu pelaku kekerasan adalah korban. Lantas harus diberi nama apa korban kekerasan itu sendiri?” Tukas Drupadi kesal.

Yudhistira berdiri. Hatinya bergolak kesana kemari… disatu sisi dia merasa terpuaskan karena si durhaka Dursasana yang menghina isterinya telah tak bernyawa, disatu sisi perasaan kemanusiaan tidak rela mengijinkan hal itu terjadi.

”Kresna kakakku, Drupadi istriku. Janganlah diteruskan lagi. Masih banyak yang harus kita atasi..”

Drupadi menarik nafas. Wajahnya terang dan bercahaya, dengan rambut tergelung, dalam tatapan kagum suaminya, yang melihat isterinya yang dulu saat hatinya masih murni tanpa dendam.

Belum ada Komentar untuk "Penyebab Kematian dan Kekalahan Dursasana, Kisah Mahabharata"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel